image
Free CSS Template

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Aliquam feugiat mi lacus, sed accumsan neque. Donec condimentum molestie laoreet.

mafhum

| 0 komentar | Minggu, 05 Juni 2011

A. Pendahuluan
Segala puji bagi Allah segala nikmatnya yang telah di berikan kepada kita sehingga kita bisa melaksakan kewajiban kita yaitu menuntut ilmu
Sholawat dan salam mudah mudahan tetap tercurahkan kepada junjungan kita nabi besar Muhammad SAW
Sebagai mana yang telah kita ketahui bersama bahwsanya Al-Qur’an adalah kalmullah yang di turunkan kepada nabi Muhammad SAW.
Al-Qur’an di turunkan sebagai pedoman bagi umat manusia dan juga termasuk salah satu mu’jizat nabi muhammad jadi sangat wajarlah kalau tak ada satu orangpun yang dapat mengaingi Al-Qur’an .
Al-Qu’an mempungai bahasa yang sangat tinggi sehingga untuk memahaminya tidak cukup dengan hanya membaca dhahirnya ayat saja tapi harus berijtihad dengan melalui pendekatan bahasa sehingga dengan itu kita dapat menemukan pemahaman.
Sedangkan memahami Ayat-Ayat Al-Quran itu bisa dengan Manthuq dan Mafhum Sebagai mana yang akan kami terangkan di bawah ini

B. Pembahasan
1.Manthuq
a.]Pengertian mantuk
Manthuk adalah :
المنطوق هو ما دل عليه اللفظ فى محل النطق
Manthuk adalah suatu hal atau hukum yang di terangkan oleh suatu lafal sesuai dengan bunyi lafad itu sendiri .Contoh firman allah :
يا ايها الد ين امنوا كتب عليكم الصيام كما كتب على الذ ين من قبلكم
“Hai orang orang beriman di wajibkan tas kamu berpuasa sebagai mana telah di wajibkan atas orang orang orang sebelum kamu.”
Ayat di atas menjelaskan kewajiban berpuasa di bulan ramadhon bagi orang orang yang beriman .dan hukum wajib ini berdasarkan manthuqnya .
Sedangkan manthuk di bagi menjadi dua;
a.Manthuk Shorih
Manthuk soreh adalah lafad yang menunjukkan pada sesuatu dengan muthabaqoh dan tadhommun
b.Manthuq Ghairu Shorih
Manthuq gairu soreh adalah lafad yamg menunjukkan pada sesuatu tanpa muthobaqoh dan tadhommun
Sedangkan ghairu soreh di bagi menjadi tiga ; 1.iqtida’ 2.ima’ 3.isyarah.
1. Iqtida’ adalah lafad yang membutuhkan pentakdiran atas kebenaran kalam atau sahnya kalam menurut aqal dan syara’,contoh seperti pentakdiran di angkatnya dosa pada hadis nabi
رفع عن امتي الخطاء والنسيا ن وما استكرهوا عليه
’Di angkat dari umatku kesalahan dan lupa dan sesuatu yang orang orang memaksa padanya’
Sesungguhnya sabda nabi ini secara lafad dan ibarat menunjukkan atas di angkatnya perkerjaan yang di lakukan dalam ke adaan keliru ,lupa atau terpaksa setelah di lakukannya ,tetapi hal ini tidak sesuai dengan faktanya karna adanya sifat ini pada umat ,oleh karena itu menuntut adanya pentakdiran / penyisipan sesuatu pada kalam seperti,karaf’i itsmi agar sesuai dengan faktanya maka jadilah ma’na.
رفع اثم الخطاءا والنسيا ن اوالا كراه
2. Ima’ bisa juga di sebut mengingatkan
Ima’ adalah tujuan sang pembicara bersamaan dengan illat hukumnya . Contoh perintah memerdekakan budak karena jima’ yang bersamaan dengan upaya mengingatkan dalam bentuk perintah.
3. Isyarah
Isyarah adalah orang yang berbicara menekankan bukan pada tujuan yang di maksud oleh pembicara contohnya hadis nabi ;
النساء نا قصا ت عقل ودين يا رسو ل الله مانقصا ن دينهن قال تمكث احداهن
في مقر بيتها شطر دهرهالاتصلي ولاتصوم
Hadis di atas menjelaskan kekurangan agamanya perempuan ,bukan menjelaskan paling banyaknya haid dan paling sedikitnya suci walaupun tidak bisa di pungkiri menunjukkan paling banyaknya haid lima belas hari.
Dan juga firman Allah ;وحمله وفصا له ثلا ثون شهرا dengan firman allah و فصاله فى عا مين
2.Mafhum
a.Pengertian mafhum
Mafhum adalah suatu hukum yang di terangkan oleh suatu lafad tidak menurut bunyi lafad itu sendiri tetapi menurut pemahamannya atau menurut arti yang tersimpan di dalam lafalnyMaksudnya adalah hukum hukum yang di ambil tidak berdasarkan bunyi suatu dalil,tetapi berdasarkan arti yang tersimpan di dalamnya misalnya ayat tentang nafaqah istri yang di tholaq suaminya yaitu ;
وا ن كن اولات حمل فا نفقوا عليهن حتى يضعن حملهن
Ayat ini mengandung pengertian hukum yang tidak tertulis,yaitu perempuan tidak hamil yang di tholaq suaminya .jika demikian,istri tidak wajib di beri nafaqah oleh mantan suaminya ,sebab menurut apa yang tertulis di dalam ayat ini menyatakan bahwa yang harus di beri nafaqah jika wanita tersebut keadaannya hamil .
Mafhumnya ,jika tidak hamil ,maka ia tidak wajib di beri nafaqah . Dengan demikian ,hukum hukum yang di ambil dari hasil pemahaman arti yang tersirat dari dalil dalil ,di sebut dengan mafhum
Mafhum ada dua ;
1.Mafhum muwafaqah adalah mafhum yang apabila hukum-hukum yang tidak di sebutkan dalam lafad itu cocok atau sesuai dengan yang di sebutkan dalam lafad tersebut tidak berlawanan
Contoh ;فلا تقل لهما اف
Mengingat adanya kesamaan antara memukul dengan berkata uf dalam sama sama menyakitkan hati dan sama sama menunjukkan pada penghinaan, maka berkata uf saja hukumnya haram,apalagi memukul.
2.Mafhum Mukholafah adalah menetapkan kebalikan hukum yang telah di tetapkan oleh manthuk.
Contohnya firman Allah :
ومن لايستطع منكم ان ينكح المحصنا ت المؤ منات فمما ملكت ايما نكم
من فتيا تكم المؤ منا ت
Nas di atas menjelaskan bahwa halal mengawini budak - budak dengan batasan apabila tidak mampu untuk mengawini wanita yang merdeka ini kalau di pahami manthuk ,sedangkan kalau di pahami dengan mafhum mukholafah ayat di atas menjelaskan haram mengawini budak apabila mampu mengawini perempuan yang merdeka .
C. Kesimpulan
Dari penjelasan dapat di ambil kesimpulan bahawa seorang mujtahid sangat memeras pikirannya dalam meng istimbatkan suatu hukum, karena di samping harus mahir bahasa arab juga harus mempunyai zdauq atau malaka yang tinggi dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an sehingga dari situ banyak terjadi banyak pendapat sesuai dengan malaka yang di miliki oleh masing masing mujtahid.
Daftar Pustaka
Drs.Muhammad Ma’sum zein ,MA usul fiqih, op.cit.
Abd al – Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, ( Kairo ; Dar al Fikr Al – Arabi, 1995 ).
Zuhaili Wahbah, 1998, Ushul – Fiqih al – Islami, Dar – Alfikr, ( Juz I )
Abu Zahra, Muhammad, Ushul Fiqih, ( Kairo ; Al – Fikr ,1998).
| 1 komentar | Jumat, 03 Juni 2011

kesesatan NII

| 0 komentar |

Makalah
Sejarah perkembangan ijtihad
Di ajukan Untuk memenuhi Tugas U.T.S
Dosen Pembimbing : yusti Sulistio









Oleh :
Sholihan

FAKULTAS TARBIYYAH
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM “MA’HAD ALY AL – HIKAM”
MALANG
2011
PENDAHULUAN

Segala puji bagi Allah atas segala nikmatnya yang telah memberikan limpahan rahmat dan
hidayahnya kepada kita sehingga kita dapat melaksanakan kewjaiban kita,(tholabu al ilmi)
Sholawat dan salam mudah-mudahan tetap tercurahkan keharibaan junjungan kita nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari alam yang jahiliyah menuju alam yang bernuansa iman dan islam
Ijitiahad adalah salah satu cara yang di lakukan mujtahid dalam menistinbatkan hukum islam,
Ijtihad itu harus di lakukan terutama pada zaman sekarang ini yang di sebut dengan zaman pos modernis karena secara akal tidak mungkin nabi Muhammad cukup untuk merealisasikan semua kemungkinan dari ayat ayat hukum pada dataran realitas ke hidupan .Mengingat Muhammad adalah nabi dan rasul terakhir dan dia datang untuk semua penduduk bumi hingga datangnya hari kiamat, serta mengingat tidak ada risalah lagi setelah risalah Nabi Muhammad maka, merealisasikan ayat-ayat hukum pada realitas kehidupan merupakan problem yang harus di carikan jawabannya oleh karena itu kami akan membahas sekilas tentang ijtihad di masa Rasulullah, sahabat,tabi’in, dan pasca imam mazhab








PEMBAHASAN
Pengertian ijtihad.
Ijtihad menurut bahasa adalah جحد يجد جحدا yang berarti berusaha dengan sungguh- sungguh. Sedangkan pengertian dari istilah para ulama’berbeda pendapat dalam merumuskan pengertian tersebut.
Ulama’ yang berpikiran holistic, integra, ijtihad di artikan segala upaya yang di curahkan mujtahid dalam berbagai bidang ilmu, seperti bidang fiqih, teologi,filsafat, dan tasawuf.
Sementara ulama’ushul fiqih melihat bahwasanya ijtihad sebagai aktivitas nalar yang berkaitan dengan masalah fiqih, oleh karena itu mereka berpendapat bahwa upaya memahami nash masalah-masalah teologi, filsafat dan tasawuf tidak di katagorikan sebagai aktivitas ijtihad
IJTIHAD DI ZAMAN RASULULLAH
Sebenarnya ijtihad sudah ada sejaka zaman Rasulullah, saat Rasulullah di hadapkan tawanan perang Badar. Rasulullah meminta pendapat para sahabat, hukuman apa yang pantas di ganjar pada mereka.
Muncul beberapa pendapat dari sahabat,Abu Bakar sebagai sahabat yang paling bersahaja, berpendapat agar mereka di biarkan hidup dengan di bebani pajak keamanan.Abu Bakar berharap mereka mau bertaubat sehingga dapat menunjang kekuatan kaum muslimin dalam melawan kekufuran.
Umar berpandangan bahwa paratawanan adalah orang-orang yang yang memusuhi islam dan Rasulullah karena itu, sebagai imbalannya mereka harus di bunuh.lebih dari itu, Ibnu Rawahah berpendapat, mereka-mereka seharusnya di bakar dalam kobaran api yang membara, mereka tidak pantas di beri ampun.
Rasulullah berlalu begitu saja setelah mendengar pendapat para sahabat itu.Ribuan pertanyaan mendekam di benak para sahabat pendapat siapakah yang di setujui Rasulullah
Kemudian Rasulullah datang dan bersabda:Hari ini, kalian dalam keadaan miskin, maka salah satu dari tawanan sama sekali tidak boleh di lepaskan kecuali telah membayar tebusan atau di potong lehernya.
Ke esokan harinya sahabat Umar mengunjunyi Rasulullah yang saat itu bersama Abu Bakar. Umar meliat butir butir air mata mengalir membasahi pipi mereka berdua.
Saat Umar bertanya pengebab tangisan itu, Rasulullah menjawab: Aku menangis para sahabatku telah mengambil tebusan (karena ijtihad beliau) dari para tawanan, padahal telah di jelaskan bahwa hampir saja azhab turun pada mereka.’’
Kebijakan Rasulullah agar tidak melepaskan tawanan perang kecuali dengan membayar tebusan merupakan hasil ijtihad.Rasulullah mempertimbangkan keadaan para sahabat yang kala itu mengalami kemiskinan. Oleh karnanya Allah menegor Rasulullah atas keputusan yang telah di ambilnya, firman Alla:مَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَنْ يَكُونَ لَهُ أَسْرَى حَتَّى يُثْخِنَ فِي الْأَرْضِ تُرِيدُونَ عَرَضَ الدُّنْيَا وَاللَّهُ يُرِيدُ الْآَخِرَةَ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (67) لَوْلَا كِتَابٌ مِنَ اللَّهِ سَبَقَ لَمَسَّكُمْ فِيمَا أَخَذْتُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ (68) فَكُلُوا مِمَّا غَنِمْتُمْ حَلَالًا طَيِّبًا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Artinya :Tidak patut bagi se orang nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi ini.Kamu menghendaki harta benda duniawi sedangkan Allah menghendaki pahala akhirat untukmu Allah maha perkasa lagi bijak sana. Kalau sekiranya tidak ada ke tetapan yang telah terdahulu dari Allah, niscaya kamu di timpa siksaan yang besar karena tebusan yang kamu ambil.(Al-Anfal:67-68)
Kisah di atas menunjukkan bahwasanya nabi juga ber ijtihad ketika ada suatu masalah yang tidak ada nash syarih dalam Al-Qur’an tapi meskipun demikian ulama’ masi berbeda pendapat tentang bolehnya nabi berijtihad
Menurut jumhurul ulama’ ushul di antaranya Ibnu Hajib Al-Amady dan sebagian golongan hanafiah dan begitu juga golongan syafi’iyah di antaranya Fathu Al rozi dan Baidowi ber pendapat bahwa boleh nabi ber ijtihad dalam urusan agama dan dunya
Menurut pendapat Imam Ibnu Hazim tidak boleh nabi ber ijtihad secara mothlaq bahkan dia berkata:Sesungguhnya orang yang mengangka nabi berijtihad, sesungguhnya ijtihad boleh para nabi jika tidak ada wahyu pada para nabi dalam masalah yang terjadi di masanya maka orang itu kafir dan cukup untuk menolak pendapat bolehnya ijtihad pada para nabi dengan firman Allah
إِنْ أَتَّبِعُ إِلَّا مَا يُوحَى إِلَيَّ إِنِّي أَخَافُ إِنْ عَصَيْتُ رَبِّي عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيمٍ
Aku hanya ikut pada apa yang di wahyukan kepadaku sesengguhnya akau takut bila saya berma’siat pada pada azhab allah di hari kiamat (Yunus :15)
Ijtihad di masa sahabat.
Dalam periode ini, di kenal dengan sebutan priode fatwa dan penafsiran terhadap sumber hukum islam, lantaran banyak muncul kasus-kasus baru yang belum terjadi di masa Rasulullah SAW. Dan untuk memberi kan kejelasan hukum, para sahabat memberi fatwa atau keputusan dengan cara menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadist, sekalipun yang menjadi sumber tetap adalah Al-Qur’an dan Hadist.
Jika dalam realitas sosial terjadi kasus yang ketentuan hukumnya tidak di temukan di dalam kedua sumber hukum tersebut,mereka mengadakan musyawarah. Jika di peroleh kesepakatan pendapat, maka terjadilah Ijma’ sahabat, sekalipun hanya bisa belaku pada masa Abu Bakar.Jika kesepakatan itu tidak mungkin di capai, mereka melakukan ijtihad dengan beberapa teori. Seperti teori qiyas,istislah,sadz zari’ah,yang ruang lingkupnya pembahasannya di batasi pada kasus-kasus yang benar terjadi.
Ijtihad di masa tabi’in
Pada masa tabi’in ini (generasi sepeninggalan sahabat), ijtihad terus berlangsung. Mereka tersebar di berbagai negri yang berada bibawah kekuasaan dinasti Amamiyah. Guru-Guru mereka adalah para sahabat nabi yang menyebar ke berbagai negri, seperti Ibnu Umar dan Zaid Ibnu Tsabit di Madinah, Abdullah bin Mas’ud di Kufah, Ibnu Abbas di Makkah, Amr bin Ash di Mesir, dan sebagainya. Pada priode ini umat islam pecah menjadi tiga kelompok, yaitu Khawarij, Syi’ah dan Jumhur. Perpecahan ini membawa dampak pada perbedaan pendapat dalam menetapkan hukum Islam.
Khawarij dan Syiah hanya menerima hadist dari sahabat tertentu dan menolak yang lain, sementara itu kelompok jumhur bisa menerima setiap hadist shahih yang di riwayatkan oleh perowi yang tsiqah dengan tanpa membeda bedakan antara para sahabat yang ada. Sebagai akibat dari perbedaan sikap ini maka muncullah fatwa-fatwa yang berbeda di antara masing masing kelompok. Ciri lain yang menandai priode ini adalah munculnya madrasah Ahlu Al Ru’yi dan Ahlu Hadist yang masing masing mempunyai spesifikasi dalam menetapkan hukum islam.Ahlu Al Ra’yi lebih mengutamakan pada penggunaan rasio dalam menetapkan suatu hkum, sementara itu Ahlu Al Hadist lebih banyak mengutamakan riwayat hadist di banding rasio.
Eksistensi ahli Al-Ra’yu di Irak(dengan tokohnya Ibrahim Al-Nukha’iy)dan ahli Al Hadist di Hijaz (dengan tokohnya Sa’ad bin Al-Musayyab), berpengaruh besar terhadap sistem penerapan metode ijtihad dalam ber istinbatkan hukum Islam. Hal ini dapat di lihat dari sistem penerapan metode ijtihad masing- masing yaitu.
1.) Kalangan Ahli Al-Hadist
Mereka hanya melakukan pengelesaiyan kasus-kasus riel yang sedang terjadi di tengah-tengah masyarakat, tanpa memproyeksikan problem yang belum perna terjadi untuk di carikan status hukumnya, sehingga dengan metode ini,mereka tidak sampai keluar dari pemahaman nash secara tekstual.
2.)Kalangan Ahlu Al Rya’yi
Dalam metode ijtihad mereka, mereka selalu menggunakan teori istishlah dan tiori qiyas dengan patokan dan aturan yang sangat jelas, hanya saja belum sampai di bukukan,baik metode ijtihadnya dalam bentuk ilmu ushul- fiqih maupun hasil ijtihadnya dalam bentuk fiqih.Mereka para ahli Al Rakyi berijtihad tidak terbatas pada lingkup peristiwa yang sudah terjadi saja, tetapi melangkah sampai pada peristiwa yang di asumsikan bakal terjadi.
Pada priode ini perbedaan pendapat di antar Ahli hadist dan Ahli Ra’yi, antara sesama kelompok ahli al rakyi sendiri sangat luas dibandingkan dengan perbedaan yang terjadi di masa sahabat, sehingga banyak bermunculan para mujtahid yang menjadi mufti di berbagai negara islam, baik dari kalangan ahlu Al Rakyi maupun ahli Al Hadist, seperti di Madinah,Basrah, Kufah, Yaman, Mesir dan lain-lainnya.Para mujtahid tersebut memberi fatwa kepada penduduk dan meriwayatkan hadist dari Nabi SAW. Bahkan setiap penduduk bisa sengat mudah bertanya langsung kepada para mufti tentang berbagai masalah.
Ijtihad pasca imam imam mazhab
Pada periode ini di sebut periode taqlid, karena para ulama’ telah lemah semangatnya,mereka lemah kembali kepada hukum tasyri’ yang asasi guna guna menarik hukum nash Al Qur’an dan Al Sunnah dan lemah semangatnya untuk menginstinbatkan hukum yang tidak ada nashnya, dengan salah satu dalil syara’. Para ulama’ pada periode ini terbiasa mengikuti hukum yang telah ditentukan oleh para imam mujtahid pada masa lampau beserta ushul fiqihnya.
Periode taqlid ini di mulai sejak pertengahan abad ke empat hijriyah, bersamaan dengan muncul berbagai faktor yang menimpa umat islam.
Pengebab terhentinya gerakan ijtihad, setidaknya ada empat faktor yang menyebabkannya:
1.)Daulah islamiyah terbagi bagi dalam sejumlah kerajaan, dimana para rajanya, penguasanya, dan rakyatnya saling bermusuhan.
2.)Para imam-imam mujtahid terbagi bagi menjadi beberapa golongan.
3.)Umat islam aga’ mengabaikan prosedur pembuatan dan pengaturan perundang undangan.
4.)Para ulama’ banyak yang menderita penyakit moral, yang menghalangi mereka untuk menjadi mujtahid.
Meskipun terdapat beberapa faktor yang menghalangi mereka untuk melakukan ijtihad mutlaq, dan mengeluarkan hukum syara’ dari sumbernya yang pertama, namun semangat ulama’ untuk menekuni bidang tasyri’ di wilaya mereka yang terbatas, masih berlangsung. Contohnya saja imam Ghazali.

Al Gazali dan pemikirannya
1.) Biografi Al Gazali
Beliau adalah seorang pemikir Islam terbesar , tidaka hanya di kenal di dunia islam, tetapi juga di luar islam, maka sangat wajar jika banyak penulis tertarik untuk menulis dan mengkaji pemikiran-pemikiran Al Gazali, baik dari kalangan muslim, maupun dari kalangan orientalis. Al Gazali i (1058/1111M.) merupakan salah seorang pemikir yang muncul pada masa pasca puncak kemajuan islam. Sebagai pemikir besar isalam, maka hasil pemikiran Al Gazali masih tetap menjadi warisan umat islam, meskipun sepuluh abad berlalu. Kebesaran pengaruh Al Gazali tersebut dapat dilihat dari gelar ‘’hujjah al- islamiyah yang di sandangnya.Berbagai pujian dan cercaan yang di lontarkan ng oleh orang yang tidak senang kepadanya karena kebesaran nama Al-Gazali.
2.)Pemikiran Al Gazali
Adapun landasan pemikiran Al Gazali,bahwa sebagai seorang muslim tetap mendasri pemikiran-pemikiran kepada pokok ajaran islam, yaitu Al Qur’an dan Hadist. Disamping itu juga ia mempergunakan akal (Al Ma’kul) sebagai landasan berpikirnya. Didalam kitabnya Qanun Al Ta’wil, Al Gazali mengungkapkan kesetujuannya terhadap golongan yang menggabungkan antara wahyu dengan akal sebagai dasar penting dalam membahas sesuatu. Ketika Al-Gazli membahas dalil-dalil pokok (yang utama) untuk ijma’ia menempuh tiga jalan.sebagai berikut:
1.)Berpegang pada Al Qur’an
2.)Berpegang pada pendapat Rasulullah SAW, bahwa umat tidak akan bersepakat pada kesalahan (kesesatan),
3.)Berpegang teguh pada ma’nawi..


















KESIMPULAN
Dari penjelasan di atas sangat jelas sekali bahwa ijtihad di masa nabi tidak berkembang pesat karena ketika ada kasus orang-orang langsung tanyak pada nabi.
Ketika di zaman para sahabat ijtihad mulai agak berkembang karena di zaman ini banyak kasus kasus yang tidak terjadi zaman Rasullah maka sahabat tidak boleh tidak juga merasa terpanggil untuk berijtihad agar orang-oarang tidak sembarang dalam melakukan syari’at, tapi di masa sahabat ijtihadnya masi terbatas dalam menafsiri Al-Qur’an dan Hadis jika menemukan suatu kasus yang tidak ada nashnya dalam Al-Qur’an dan hadis mereka melakukan beberapa teori diantaranya Qiyasa,Ijma’,dan lain-lain.
Pada masa tabi’in ijtihad mulai berkembang pesat karena di masa ini orang Islam terbagi menjadi tiga,syi’ah, khawarij, jumhur, dan juga berdirinya madrasah ahlu hadis dan ahlu ra’yi dan masing-masing dari mereka mempunyai metode ijtihad sendiri-sendiri
Kemudian di masa pasca imam mazhab di masa ini ulama’ sudah mulai tidak semangat berijtihad sebab merasa semua kasus yang terjadi bisa dapat di jawab dengan hasil ijtihad ulama’-ulama’terdahulu dan karena kefanatikan mereka pada imam mazhab mereka.







DAFTAR PUSTAKA
Prof.Dr.Syafi’e Rahmat,M Ilmu Ushu Al-Fiqih
Dr Umri Syaiful Nadiyatul.Ushu Al-Fiqih
Ma’sum zein Muhammad,Ilmu Ushu Al-Fiqih,(Jombang Jatim,Daru Al-Hikmah,2008)
Saiban,Kasuwi,Metode Ijtihad Ibnu Rusyd,Malang:Kutub Minar,2005,Cit.1
Zuhaili, Wahbah. Ushu Al-Fiqih, Al Islamiyah,Juz 11:Dar Al-Fikr
Khallaf,Abdu Al-Wahab,Sejarah Hukum Islam: Marja,2005
Zainy Al-Hasyimiy, 2008 Daru Al-Hikmah,jombang
| 1 komentar |

Makalah
Sejarah perkembangan ijtihad
Di ajukan Untuk memenuhi Tugas U.T.S
Dosen Pembimbing : yusti Sulistio









Oleh :
Sholihan

FAKULTAS TARBIYYAH
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM “MA’HAD ALY AL – HIKAM”
MALANG
2011
PENDAHULUAN

Segala puji bagi Allah atas segala nikmatnya yang telah memberikan limpahan rahmat dan
hidayahnya kepada kita sehingga kita dapat melaksanakan kewjaiban kita,(tholabu al ilmi)
Sholawat dan salam mudah-mudahan tetap tercurahkan keharibaan junjungan kita nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari alam yang jahiliyah menuju alam yang bernuansa iman dan islam
Ijitiahad adalah salah satu cara yang di lakukan mujtahid dalam menistinbatkan hukum islam,
Ijtihad itu harus di lakukan terutama pada zaman sekarang ini yang di sebut dengan zaman pos modernis karena secara akal tidak mungkin nabi Muhammad cukup untuk merealisasikan semua kemungkinan dari ayat ayat hukum pada dataran realitas ke hidupan .Mengingat Muhammad adalah nabi dan rasul terakhir dan dia datang untuk semua penduduk bumi hingga datangnya hari kiamat, serta mengingat tidak ada risalah lagi setelah risalah Nabi Muhammad maka, merealisasikan ayat-ayat hukum pada realitas kehidupan merupakan problem yang harus di carikan jawabannya oleh karena itu kami akan membahas sekilas tentang ijtihad di masa Rasulullah, sahabat,tabi’in, dan pasca imam mazhab








PEMBAHASAN
Pengertian ijtihad.
Ijtihad menurut bahasa adalah جحد يجد جحدا yang berarti berusaha dengan sungguh- sungguh. Sedangkan pengertian dari istilah para ulama’berbeda pendapat dalam merumuskan pengertian tersebut.
Ulama’ yang berpikiran holistic, integra, ijtihad di artikan segala upaya yang di curahkan mujtahid dalam berbagai bidang ilmu, seperti bidang fiqih, teologi,filsafat, dan tasawuf.
Sementara ulama’ushul fiqih melihat bahwasanya ijtihad sebagai aktivitas nalar yang berkaitan dengan masalah fiqih, oleh karena itu mereka berpendapat bahwa upaya memahami nash masalah-masalah teologi, filsafat dan tasawuf tidak di katagorikan sebagai aktivitas ijtihad
IJTIHAD DI ZAMAN RASULULLAH
Sebenarnya ijtihad sudah ada sejaka zaman Rasulullah, saat Rasulullah di hadapkan tawanan perang Badar. Rasulullah meminta pendapat para sahabat, hukuman apa yang pantas di ganjar pada mereka.
Muncul beberapa pendapat dari sahabat,Abu Bakar sebagai sahabat yang paling bersahaja, berpendapat agar mereka di biarkan hidup dengan di bebani pajak keamanan.Abu Bakar berharap mereka mau bertaubat sehingga dapat menunjang kekuatan kaum muslimin dalam melawan kekufuran.
Umar berpandangan bahwa paratawanan adalah orang-orang yang yang memusuhi islam dan Rasulullah karena itu, sebagai imbalannya mereka harus di bunuh.lebih dari itu, Ibnu Rawahah berpendapat, mereka-mereka seharusnya di bakar dalam kobaran api yang membara, mereka tidak pantas di beri ampun.
Rasulullah berlalu begitu saja setelah mendengar pendapat para sahabat itu.Ribuan pertanyaan mendekam di benak para sahabat pendapat siapakah yang di setujui Rasulullah
Kemudian Rasulullah datang dan bersabda:Hari ini, kalian dalam keadaan miskin, maka salah satu dari tawanan sama sekali tidak boleh di lepaskan kecuali telah membayar tebusan atau di potong lehernya.
Ke esokan harinya sahabat Umar mengunjunyi Rasulullah yang saat itu bersama Abu Bakar. Umar meliat butir butir air mata mengalir membasahi pipi mereka berdua.
Saat Umar bertanya pengebab tangisan itu, Rasulullah menjawab: Aku menangis para sahabatku telah mengambil tebusan (karena ijtihad beliau) dari para tawanan, padahal telah di jelaskan bahwa hampir saja azhab turun pada mereka.’’
Kebijakan Rasulullah agar tidak melepaskan tawanan perang kecuali dengan membayar tebusan merupakan hasil ijtihad.Rasulullah mempertimbangkan keadaan para sahabat yang kala itu mengalami kemiskinan. Oleh karnanya Allah menegor Rasulullah atas keputusan yang telah di ambilnya, firman Alla:مَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَنْ يَكُونَ لَهُ أَسْرَى حَتَّى يُثْخِنَ فِي الْأَرْضِ تُرِيدُونَ عَرَضَ الدُّنْيَا وَاللَّهُ يُرِيدُ الْآَخِرَةَ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (67) لَوْلَا كِتَابٌ مِنَ اللَّهِ سَبَقَ لَمَسَّكُمْ فِيمَا أَخَذْتُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ (68) فَكُلُوا مِمَّا غَنِمْتُمْ حَلَالًا طَيِّبًا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Artinya :Tidak patut bagi se orang nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi ini.Kamu menghendaki harta benda duniawi sedangkan Allah menghendaki pahala akhirat untukmu Allah maha perkasa lagi bijak sana. Kalau sekiranya tidak ada ke tetapan yang telah terdahulu dari Allah, niscaya kamu di timpa siksaan yang besar karena tebusan yang kamu ambil.(Al-Anfal:67-68)
Kisah di atas menunjukkan bahwasanya nabi juga ber ijtihad ketika ada suatu masalah yang tidak ada nash syarih dalam Al-Qur’an tapi meskipun demikian ulama’ masi berbeda pendapat tentang bolehnya nabi berijtihad
Menurut jumhurul ulama’ ushul di antaranya Ibnu Hajib Al-Amady dan sebagian golongan hanafiah dan begitu juga golongan syafi’iyah di antaranya Fathu Al rozi dan Baidowi ber pendapat bahwa boleh nabi ber ijtihad dalam urusan agama dan dunya
Menurut pendapat Imam Ibnu Hazim tidak boleh nabi ber ijtihad secara mothlaq bahkan dia berkata:Sesungguhnya orang yang mengangka nabi berijtihad, sesungguhnya ijtihad boleh para nabi jika tidak ada wahyu pada para nabi dalam masalah yang terjadi di masanya maka orang itu kafir dan cukup untuk menolak pendapat bolehnya ijtihad pada para nabi dengan firman Allah
إِنْ أَتَّبِعُ إِلَّا مَا يُوحَى إِلَيَّ إِنِّي أَخَافُ إِنْ عَصَيْتُ رَبِّي عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيمٍ
Aku hanya ikut pada apa yang di wahyukan kepadaku sesengguhnya akau takut bila saya berma’siat pada pada azhab allah di hari kiamat (Yunus :15)
Ijtihad di masa sahabat.
Dalam periode ini, di kenal dengan sebutan priode fatwa dan penafsiran terhadap sumber hukum islam, lantaran banyak muncul kasus-kasus baru yang belum terjadi di masa Rasulullah SAW. Dan untuk memberi kan kejelasan hukum, para sahabat memberi fatwa atau keputusan dengan cara menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadist, sekalipun yang menjadi sumber tetap adalah Al-Qur’an dan Hadist.
Jika dalam realitas sosial terjadi kasus yang ketentuan hukumnya tidak di temukan di dalam kedua sumber hukum tersebut,mereka mengadakan musyawarah. Jika di peroleh kesepakatan pendapat, maka terjadilah Ijma’ sahabat, sekalipun hanya bisa belaku pada masa Abu Bakar.Jika kesepakatan itu tidak mungkin di capai, mereka melakukan ijtihad dengan beberapa teori. Seperti teori qiyas,istislah,sadz zari’ah,yang ruang lingkupnya pembahasannya di batasi pada kasus-kasus yang benar terjadi.
Ijtihad di masa tabi’in
Pada masa tabi’in ini (generasi sepeninggalan sahabat), ijtihad terus berlangsung. Mereka tersebar di berbagai negri yang berada bibawah kekuasaan dinasti Amamiyah. Guru-Guru mereka adalah para sahabat nabi yang menyebar ke berbagai negri, seperti Ibnu Umar dan Zaid Ibnu Tsabit di Madinah, Abdullah bin Mas’ud di Kufah, Ibnu Abbas di Makkah, Amr bin Ash di Mesir, dan sebagainya. Pada priode ini umat islam pecah menjadi tiga kelompok, yaitu Khawarij, Syi’ah dan Jumhur. Perpecahan ini membawa dampak pada perbedaan pendapat dalam menetapkan hukum Islam.
Khawarij dan Syiah hanya menerima hadist dari sahabat tertentu dan menolak yang lain, sementara itu kelompok jumhur bisa menerima setiap hadist shahih yang di riwayatkan oleh perowi yang tsiqah dengan tanpa membeda bedakan antara para sahabat yang ada. Sebagai akibat dari perbedaan sikap ini maka muncullah fatwa-fatwa yang berbeda di antara masing masing kelompok. Ciri lain yang menandai priode ini adalah munculnya madrasah Ahlu Al Ru’yi dan Ahlu Hadist yang masing masing mempunyai spesifikasi dalam menetapkan hukum islam.Ahlu Al Ra’yi lebih mengutamakan pada penggunaan rasio dalam menetapkan suatu hkum, sementara itu Ahlu Al Hadist lebih banyak mengutamakan riwayat hadist di banding rasio.
Eksistensi ahli Al-Ra’yu di Irak(dengan tokohnya Ibrahim Al-Nukha’iy)dan ahli Al Hadist di Hijaz (dengan tokohnya Sa’ad bin Al-Musayyab), berpengaruh besar terhadap sistem penerapan metode ijtihad dalam ber istinbatkan hukum Islam. Hal ini dapat di lihat dari sistem penerapan metode ijtihad masing- masing yaitu.
1.) Kalangan Ahli Al-Hadist
Mereka hanya melakukan pengelesaiyan kasus-kasus riel yang sedang terjadi di tengah-tengah masyarakat, tanpa memproyeksikan problem yang belum perna terjadi untuk di carikan status hukumnya, sehingga dengan metode ini,mereka tidak sampai keluar dari pemahaman nash secara tekstual.
2.)Kalangan Ahlu Al Rya’yi
Dalam metode ijtihad mereka, mereka selalu menggunakan teori istishlah dan tiori qiyas dengan patokan dan aturan yang sangat jelas, hanya saja belum sampai di bukukan,baik metode ijtihadnya dalam bentuk ilmu ushul- fiqih maupun hasil ijtihadnya dalam bentuk fiqih.Mereka para ahli Al Rakyi berijtihad tidak terbatas pada lingkup peristiwa yang sudah terjadi saja, tetapi melangkah sampai pada peristiwa yang di asumsikan bakal terjadi.
Pada priode ini perbedaan pendapat di antar Ahli hadist dan Ahli Ra’yi, antara sesama kelompok ahli al rakyi sendiri sangat luas dibandingkan dengan perbedaan yang terjadi di masa sahabat, sehingga banyak bermunculan para mujtahid yang menjadi mufti di berbagai negara islam, baik dari kalangan ahlu Al Rakyi maupun ahli Al Hadist, seperti di Madinah,Basrah, Kufah, Yaman, Mesir dan lain-lainnya.Para mujtahid tersebut memberi fatwa kepada penduduk dan meriwayatkan hadist dari Nabi SAW. Bahkan setiap penduduk bisa sengat mudah bertanya langsung kepada para mufti tentang berbagai masalah.
Ijtihad pasca imam imam mazhab
Pada periode ini di sebut periode taqlid, karena para ulama’ telah lemah semangatnya,mereka lemah kembali kepada hukum tasyri’ yang asasi guna guna menarik hukum nash Al Qur’an dan Al Sunnah dan lemah semangatnya untuk menginstinbatkan hukum yang tidak ada nashnya, dengan salah satu dalil syara’. Para ulama’ pada periode ini terbiasa mengikuti hukum yang telah ditentukan oleh para imam mujtahid pada masa lampau beserta ushul fiqihnya.
Periode taqlid ini di mulai sejak pertengahan abad ke empat hijriyah, bersamaan dengan muncul berbagai faktor yang menimpa umat islam.
Pengebab terhentinya gerakan ijtihad, setidaknya ada empat faktor yang menyebabkannya:
1.)Daulah islamiyah terbagi bagi dalam sejumlah kerajaan, dimana para rajanya, penguasanya, dan rakyatnya saling bermusuhan.
2.)Para imam-imam mujtahid terbagi bagi menjadi beberapa golongan.
3.)Umat islam aga’ mengabaikan prosedur pembuatan dan pengaturan perundang undangan.
4.)Para ulama’ banyak yang menderita penyakit moral, yang menghalangi mereka untuk menjadi mujtahid.
Meskipun terdapat beberapa faktor yang menghalangi mereka untuk melakukan ijtihad mutlaq, dan mengeluarkan hukum syara’ dari sumbernya yang pertama, namun semangat ulama’ untuk menekuni bidang tasyri’ di wilaya mereka yang terbatas, masih berlangsung. Contohnya saja imam Ghazali.

Al Gazali dan pemikirannya
1.) Biografi Al Gazali
Beliau adalah seorang pemikir Islam terbesar , tidaka hanya di kenal di dunia islam, tetapi juga di luar islam, maka sangat wajar jika banyak penulis tertarik untuk menulis dan mengkaji pemikiran-pemikiran Al Gazali, baik dari kalangan muslim, maupun dari kalangan orientalis. Al Gazali i (1058/1111M.) merupakan salah seorang pemikir yang muncul pada masa pasca puncak kemajuan islam. Sebagai pemikir besar isalam, maka hasil pemikiran Al Gazali masih tetap menjadi warisan umat islam, meskipun sepuluh abad berlalu. Kebesaran pengaruh Al Gazali tersebut dapat dilihat dari gelar ‘’hujjah al- islamiyah yang di sandangnya.Berbagai pujian dan cercaan yang di lontarkan ng oleh orang yang tidak senang kepadanya karena kebesaran nama Al-Gazali.
2.)Pemikiran Al Gazali
Adapun landasan pemikiran Al Gazali,bahwa sebagai seorang muslim tetap mendasri pemikiran-pemikiran kepada pokok ajaran islam, yaitu Al Qur’an dan Hadist. Disamping itu juga ia mempergunakan akal (Al Ma’kul) sebagai landasan berpikirnya. Didalam kitabnya Qanun Al Ta’wil, Al Gazali mengungkapkan kesetujuannya terhadap golongan yang menggabungkan antara wahyu dengan akal sebagai dasar penting dalam membahas sesuatu. Ketika Al-Gazli membahas dalil-dalil pokok (yang utama) untuk ijma’ia menempuh tiga jalan.sebagai berikut:
1.)Berpegang pada Al Qur’an
2.)Berpegang pada pendapat Rasulullah SAW, bahwa umat tidak akan bersepakat pada kesalahan (kesesatan),
3.)Berpegang teguh pada ma’nawi..


















KESIMPULAN
Dari penjelasan di atas sangat jelas sekali bahwa ijtihad di masa nabi tidak berkembang pesat karena ketika ada kasus orang-orang langsung tanyak pada nabi.
Ketika di zaman para sahabat ijtihad mulai agak berkembang karena di zaman ini banyak kasus kasus yang tidak terjadi zaman Rasullah maka sahabat tidak boleh tidak juga merasa terpanggil untuk berijtihad agar orang-oarang tidak sembarang dalam melakukan syari’at, tapi di masa sahabat ijtihadnya masi terbatas dalam menafsiri Al-Qur’an dan Hadis jika menemukan suatu kasus yang tidak ada nashnya dalam Al-Qur’an dan hadis mereka melakukan beberapa teori diantaranya Qiyasa,Ijma’,dan lain-lain.
Pada masa tabi’in ijtihad mulai berkembang pesat karena di masa ini orang Islam terbagi menjadi tiga,syi’ah, khawarij, jumhur, dan juga berdirinya madrasah ahlu hadis dan ahlu ra’yi dan masing-masing dari mereka mempunyai metode ijtihad sendiri-sendiri
Kemudian di masa pasca imam mazhab di masa ini ulama’ sudah mulai tidak semangat berijtihad sebab merasa semua kasus yang terjadi bisa dapat di jawab dengan hasil ijtihad ulama’-ulama’terdahulu dan karena kefanatikan mereka pada imam mazhab mereka.







DAFTAR PUSTAKA
Prof.Dr.Syafi’e Rahmat,M Ilmu Ushu Al-Fiqih
Dr Umri Syaiful Nadiyatul.Ushu Al-Fiqih
Ma’sum zein Muhammad,Ilmu Ushu Al-Fiqih,(Jombang Jatim,Daru Al-Hikmah,2008)
Saiban,Kasuwi,Metode Ijtihad Ibnu Rusyd,Malang:Kutub Minar,2005,Cit.1
Zuhaili, Wahbah. Ushu Al-Fiqih, Al Islamiyah,Juz 11:Dar Al-Fikr
Khallaf,Abdu Al-Wahab,Sejarah Hukum Islam: Marja,2005
Zainy Al-Hasyimiy, 2008 Daru Al-Hikmah,jombang